ALIRAN Sungai Citarum yang masuk ke gua batu kapur Pasir Sangiangtikoro dan menjadi sungai bawah tanah yang terletak di daerah batu kapur selatan Rajamandala Kab. Bandung.* T. BACHTIAR |
Gua itu diberi nama tikoro seakan-akan merupakan bagian dari anggota tubuh yang
maha besar. Sungai bawah tanah yang sangat melegenda itu, membuat maestro geologi van
Bemmelen percaya pula sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.
Van Bemmelen yang sangat kagum pada sakakala Sangkuriang itu, melihat ada kesamaan
urutan kejadian antara sakakala dengan proses geologi Bandung. Tak ayal lagi pendapat suhu
ilmu kebumian ini dimakmumi oleh hampir semua ahli geologi termasuk J.A. Katili, sehingga
semua guru lulusan B-1 Ilmu Bumi yang memakai buku Geologi Indonesia memercayai pula bahwa
Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.
Betapa melekatnya legenda yang mendapat dukungan dari para ahli geologi dunia dan
Indonesia, sehingga sampai sekarang pun orang tetap masih meyakini Danau Bandung Purba
bobol di Sangiangtikoro.
Aliran Citarum itu bercabang dua. Satu cabang mengalir ke kiri, seperti sungai terbuka
biasa, yang satu lagi ke arah kanan, menghilang ditelan gua batu kapur Pasir
Sangiangtikoro, menjadi terowongan/sungai bawah tanah. Tenggorokan dalam bahasa Sunda
adalah tikoro. Maka, tempat penyayatan air di daerah batu kapur selatan Rajamandala
itu seperti tenggorokan Dewata. Daerah itu kemudian dinamai Sangiangtikoro.
Batuan di Sangiangtikoro disebut batu gamping, batu kapur, atau batu karang. Batuan
kapur memiliki banyak rekahan yang memudahkan air menyelinap mengisi retak-retak setipis
selaput buah salak sekali pun. Perbukitan batu kapur itu merupakan hasil kegiatan organik,
kehidupan laut, seperti hewan dan tumbuhan laut. Sekira 23 juta tahun yang lalu, Pulau
Jawa belum seluruhnya muncul di permukaan laut. Binatang koral mengendap di laut dangkal
yang jernih antara Tagogapu Rajamandala - Palabuanratu.
Batu kapur terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Batuan ini dapat larut dalam air yang
menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) yang berasal dari atmosfer, yang pada umumnya
terdapat di semua perairan permukaan. Sungai bawah tanah Sangiangtikoro adalah hasil
proses pelarutan sehingga dipercaya sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.
Pada 2002 Budi Brahmantyo dari Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung
(ITB) meneliti geomorfologi di daerah Padalarang dan Rajamandala hingga Saguling untuk
memperbaiki sejarah bumi Bandung. Dia menyimpulkan bahwa Sangiangtikoro bukan tempat
bobolnya Danau Bandung Purba!
Danau Bandung Purba
Sebenarnya cekungan Bandung sudah tergenang jauh sebelum 135.000 tahun lalu. Namun
pembentukan danau semakin sempurna karena Sungai Citarum Purba di utara Padalarang dibajak
material letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 tahun yang lalu. Penggalan sungai ke arah
hilir, kini menjadi Cimeta, sungai kecil dalam lembah besar Citarum Purba. Air sungai
Citarum yang terbajak itu meluber, kemudian terperangkap di Cekungan Bandung.
Air semakin tinggi, dan mencapai puncaknya sekira 35.000 tahun yang lalu, dengan paras
air danau tertinggi pada kontur 712,5 m. Danau raksasa ini terentang antara Cicalengka di
timur hingga Rajamandala di barat, antara Dagobawah di utara hingga Majalaya dan Banjaran
di selatan.
Bayangkan, kita sedang melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta
dengan Jalan Kopo. Bila ini terjadi 35.000 tahun yang lalu pada saat Danau Bandung Purba
mencapai paras danau tertinggi pada kontur 712,5 m di atas permukaan laut (dpl.), kita
sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 m. Titik perempatan Jalan
Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 m. Di perempatan Jalan
Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 m. Semakin dalam bila kita berada di ujung timur
jalan Soekarno - Hatta, di persimpangan Cibiru, di sana kedalamannya mencapai 39,5 m.
Keadaannya akan semakin dalam bila kita berada di bagian tengah jalan tol
Padalarang-Cileunyi. Bila kita sedang berada di pintu tol Pasirkoja, di sana kedalamannya
hanya 26,5 m. Pintu tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 m. Apalagi bila kita berada di
pintu tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 m. Sedangkan di pintu tol Buahbatu,
kedalamannya sama seperti di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Buahbatu.
Pada tahun 1959 sesungguhnya K. Kusumadinata dalam laporannya sudah mengisyaratkan
bahwa bobolnya Danau Bandung Purba itu bukan di Sangiangtikoro. K. Kusumadina menulis:
"... Pintu air baru yang melalui pegunungan tua ini, terletak di antara
gunung-gunung Puncaklarang (885 m.) dan Bentang (700 m.). Pada garis-batas-air dahulu
terdapat pinggir dari dindingnnya yang curam di sebelah kanan jurang Citarum (745 m.),
sedang di selatan letaknya lebih ke bawah jalan di dataran dekat puncak Gunung Kadut yang
kecil, di tepi kiri pada tinggi 710 meter dan sebelah kanannya pada tinggi 740 m. Sela
gunung, di mana untuk pertama kalinya mengalir air dari Citarum yang sekarang, dengan
demikian mungkin terletak di antara 700 m dan 740 m dan menentukan tinggi permukaan air
paling atas...
Namun sayang laporannya itu kurang mendapat tanggapan yang baik dari para ahli. Budi
Brahmantyo (2002) dalam tulisannya di Majalah Geologi Indonesia, volume 17, nomor 3, IAGI,
Jakarta, menjelaskan, bahwa air Danau Bandung Purba itu pertama kalinya tidak bobol di
Sangiangtikoro. Air Danau Bandung Purba sama sekali tidak bersentuhan dengan
Sangiangtikoro.
Dalam tulisan itu disebutkan ada 3 faktor yang memperkuat pendapatnya, bahwa
Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya air Danau Bandung Purba, melainkan melalui hogback/lalangasu/pasiripis
Puncaklarang dan Pasir Kiara.
Pertama, morfologi Pasir Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara
sebagai bibir Danau Bandung Purba, terpisah sejauh 4 km. dengan beda ketinggian antara 300
- 400 meter. Kedua, keadaan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai dinding penghalang
itu berupa breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras.
Ketiga, terbentuknya Gua Sangiangtikoro tidak berhubungan secara langsung dengan
Danau Bandung Purba. Proses pelarutan batu kapur di sana hanya dipengaruhi oleh muka air
tanah.
Secara evolutif, erosi mudik di sungai dan mata air itu akhirnya mampu mengikis breksi
Formasi Saguling yang kompak dan keras. Danau Bandung Purba akhirnya bobol juga, kemudian
menyayat membentuk celah di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau
Bandung Purba barat, maka terjadi erosi ke hulu sehingga menyayat perbukitan Pematang
Tengah yang berupa batuan intrusif yang muncul kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Batuannya
terdiri dari batuan andesit, dasit, dan basal yang keras. Pematang itu memisahkan antara
Danau Bandung Purba timur dengan Danau Bandung Purba barat. Dengan tersayatnya Pematang
Tengah di Curug Jompong, maka Danau Bandung Purba timur akhirnya menyusut pula.
Curug Jompong merupakan tempat yang mudah dijangkau bila dibandingkan dengan
Puncaklarang dan Pasir Kiara. Curug berarti air terjun, sedangkan jompong
berarti mojang atau remaja putri. Di sana terlihat bebatuan yang kompak dan keras dikikis
air, membentuk permukaan batuan yang terlihat indah, kokoh, dan mengagumkan, walaupun
berada dalam lingkungan Citarum yang kotor.
Sejak air Danau Bandung Purba bersentuhan dengan batuan intrusif di Pematang Tengah,
secara evolutif air yang sangat halus itu menyayat batuan yang amat keras sehingga air
Danau Bandung Purba dapat melewati Pematang Tengah. Itulah sebabnya tempat tersayatnya
batuan intrusif yang keras itu dinamai Curug Jompong. Kerasnya rangkaian batuan
dianalogikan sebagai mojang, sebagai gadis remaja, yang kemudian tersayat oleh kehalusan
air Danau Bandung Purba. Selaputdara bumi Bandung tersayat, sehingga air Danau Bandung
Purba itu menembus batuan.
Gunung Tangkubanparahu yang berada di utara Bandung meletus 125.000 tahun yang lalu.
Material letusannya membajak Citarum Purba di utara Padalarang. Makin lama paras danau
makin tinggi, akhirnya membentuk danau raksasa Bandung Purba. 70.000 tahun kemudian,
Gunung Tangkubanparahu meletus kembali dengan dahsyatnya. Sebagian besar material
letusannya mengarah ke selatan menutupi sisi timur Pematang Tengah sehingga Danau Barat
dengan Danau Bandung Purba timur menjadi terpisah.
Makin lama, paras air danau makin tinggi hingga mencapai ketinggian 700 m. atau 712,5
m. dpl. yang terjadi 36.000 tahun yang lalu. Itulah paras danau tertinggi yang diketahui.
Akhirnya Danau Bandung Purba barat mendapat tempat penglepasan, yang menurut Budi
Brahmantyo (2002), bobol di punggungan breksi Pasir Kiara di selatan Rajamandala.
Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat di Pasir Kiara, maka air yang mengalir
menyusut itu menjadi "pisau" tajam yang menoreh ke arah hulu, menyayat bebatuan
intrusif di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah.
Pada saat Danau Bandung Purba barat surut, keadaan Danau Bandung Purba timur masih
tergenang, karena sayatan batuan intrusif di Curug Jompong belumlah terlalu dalam. Jadi,
Danau Bandung Purba barat tergenang relatif bersamaan dengan Danau Bandung Purba timur,
tapi surut lebih awal.
Lama kelamaan, sayatan di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah itu mencapai
titik terendahnya di Curug Jompong, maka menyusutlah Danau Bandung Purba timur, maka
menyusut pula danau raksasa tersebut! M.A.C. Dam (1996) menulis, Danau Bandung Purba
menyusut 16.000 tahun yang lalu.
Curug Jompong sudah dikenal oleh para peneliti. Pada tahun 1936, van Bemmelen sudah
menuliskan dalam petanya, bahwa di pertemuan Cimahi dengan Citarum di sekitar Curug
Jompong, terdapat batuan metamorf akibat adanya kontak antara batuan intrusif dengan batu
gamping. Saat ini, Curug Jompong tidak mendapat perhatian, ditelantarkan, padahal dapat
dijadikan laboratorium dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung. Sayang!***
(T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset
Cekungan Bandung).Sumber : Pikiran Rakyat
Mitos
Salah seorang sepuh berserita kepada saya bahwa dahulu sebelum kemerdekaan apabila orang tuanya memancing di Ci Tarum, maka tidak lupa membawa "lepit" sebanyak tujuh buah. "Lepit" adalah bungkusan yang terbuat dari daun sirih dan di dalamnya berisi sedikit kapur pinang, dan bahan lainnya yang siap dikunyah tetapi tidak dimakan. Sebelum memancing ketujuh "lepit" itu dilempar ke sungai. Kebiasaan lainnya adalah ketika akan pergi ke Cianjur untuk menghadiri pertemuan pendekar silat setelah menyeberang dengan rakit atau jembatan bambu, maka beliau akan melemparkan ikatan tali ijuk.
Konon yang "ngageugeuh" Ci Tarum berupa seekor ular keemasan dengan lingkaran di lehernya. Untuk hal ini ada beberapa versi cerita. Terlepas dari maksud para orang tua dahulu menciptakan mitos, kita dapat memaknainya sekarang bahwa memulai sesuatu selalu memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan agar memerlakukan lingkungan dan mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak semena-mena.
Kepercayaan bahwa Sangiang Tikoro (394 m) tempat bobolnya Danau Bandung bertahan hingga awal abad ke-21. Selain itu Sangiang Tikoro juga merupakan bagian dari Legenda Sangkuriang yang sudah dikenal paling tidak pada abad ke-15 berdasarkan catatan perjalanan Bujangga Manik. Pada 1959 K. Kusumadinata seorang geolog mengisyaratkan Sangiang Tikoro bukan tempat bobolnya Danau bandung Purba. Baru pada tahun 2002 tulisan ilmiah dalam MGI Vol. 17 (Budi Brahmantyo, Bandono, dan Sampurno), “Analisis Geomorfologi, Perbukitan Saguling – Sangiangtikoro: Pengeringan Danau Bandung Purba tidak melalui Gua Sangiangtikoro” menegaskan lagi hal itu. Seharusnya dari dulu sudah ada yang berpikir kritis, Kota Bandung yang menjadi danau berada di ketinggian 600-725 m dpl sedangkan Sangiang Tikoro 394 m. Perbedaan ketinggian dan geomorfologi/bentang alam sudah harus menjadi pertimbangan berdasarkan prinsip fisika sederhana. Bayangkan keyakinan itu bertahan berabad-abad. Dan kini kami berjalan bersama salah seorang peneliti tersebut dan memberi pencerahan.
Setelah mendengarkan penjelasan dari pembimbing acara, kami melanjutkan perjalanan mengitari rumah turbin dan berjalan di samping Ci Tarum Lama. Sejenak saya melihat pertemuan air dari Ci Tarum lama dan air yang keluar dari rumah turbin sebelum masuk ke Sangiang Tikoro. Sebelumnya kami melewati sepasang pipa pesat yang menyalurkan air dari Danau Saguling rumah turbin dengan perbedaan ketinggian sekira 300 m.
Setelah Ci Tarum dibendung menjadi Bendungan Saguling dan airnya mengalir melalui pipa pesat, maka penggalan Ci Tarum lama sebelah barat menjadi surut dan dipasok dari beberapa anak sungai dan mata air seperti yang saya lewati pada segmen rumah turbin-Leuwi Malang. Akibatnya kita dapat melihat bongkahan-bongkahan batu yang dahulunya terendam air, sungguh menakjubkan. Batu tampak warna-warni, karena selain terdiri dari banyak jenis batuan sedimen terdapat pula dari jenis karst (kapur/gamping) yang merupakan bagian dari karst Rajamandala yang memanjang ke daerah Cianjur Selatan hingga Sukabumi.
0 komentar:
Post a Comment