PIL Viagra pertama yang dibuat khusus untuk perempuan ternyata gagal memacu gairah seksual perempuan. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyatakan, flibanserin, Viagra perempuan pertama yang pernah ada, terbukti gagal dalam dua studi yang dilakukan untuk menilai keefektifannya.
Pil yang dikenal pula sebagai pink Viagra ini, tidak memperlihatkan dampak signifikan terhadap peningkatan libido perempuan. Sebaliknya, flibanserin hanya berhasil membuat aktivitas seksual menjadi sedikit lebih memuaskan.
Selain itu, pil ini juga jauh dari bebas efek samping. Sejumlah gejala negatif yang ditimbulkan antara lain rasa kantuk, depresi, pingsan, sampai pusing.
Menurut peneliti dari University of Chicago, Dr. Edward Laumann, sebanyak 43 persen kaum perempuan menderita disfungsi seksual, dibandingkan dengan kaum lelaki yang memegang angka lebih rendah yakni 31 persen. Disfungsi seksual pada perempuan ditandai dengan kurangnya gairah, rangsangan seksual, dan orgasme.
Toleransi untuk obat ini, menurut salah satu staf FDA adalah ‘moderat’. ”Belum jelas apakah melabelinya saja sudah cukup untuk memperingatkan kaum perempuan tentang banyaknya efek samping yang ditimbulkan flibanserin,” imbuhnya.
Selain itu, obat ini juga tidak segera memperlihatkan hasil. Dibutuhkan waktu beberapa minggu hingga efeknya terasa. Komite pengawasan FDA direncanakan mengadakan pertemuan lagi untuk mempertimbangkan persetujuan flibanserin.
Pesimisme
Sebelumnya, banyak pakar sudah mengungkapkan pesimisme mereka tentang keefektifan Viagra bagi perempuan. Menurut Cindy Meston, asisten profesor psikologi klinis di University of Texas, Austin, kurangnya gairah merupakan keluhan utama yang
diungkapkan mayoritas perempuan, dan memengaruhi sekitar satu pertiga di antaranya.
Penyebabnya, menurut Sandra Lieblum, direktur kesehatan seksual dan perkawinan di UMDNJ Robert Wood Johnson Medical School di Piscataway, New Jersey, biasanya berkaitan dengan hubungan perempuan dengan pasangannya.
”Organ seksual yang paling penting [bagi perempuan] adalah di antara kedua telinganya. Lelaki membutuhkan ruang untuk berhubungan seks, perempuan membutuhkan tujuan,” ujarnya.
Tapi, kurangnya gairah seksual juga bisa disebabkan oleh sejumlah kekhawatiran tentang keluarga, penyakit atau kematian, masalah pekerjaan dan finansial, kewajiban mengurus anak, menyeimbangkan karier dan keluarga, kekerasan fisik dan
mental yang baru-baru ini dialami, keletihan, hingga depresi.
Dari uraian di atas terlihat, masalah disfungsi seksual pada perempuan sebagian besar bersifat psikologis. ”Alat kelamin memainkan peranan kecil tentang bagaimana perempuan mendefinisikan gairah seksualnya. Saya rasa tidak akan ada aprodisiak yang akan membuat perempuan menginginkan seks sepanjang waktu,” kata Meston.
Meskipun demikian, menurut Lieblum, bukan berarti penyebab berkurangnya gairah tidak ada yang bersifat fisik. Hipertensi, penyakit jantung, kanker, diabetes, gangguan tiroid, penyakit neurologis dan gangguan otoimun seperti lupus juga bisa berpengaruh terhadap gairah seksual perempuan. Beberapa faktor lain termasuk obat-obatan yang diresepkan, terutama antihipertensi dan antidepresan, sampai pada penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan alkohol.
Lantas, dapatkah viagra menjadi jawaban atas masalah disfungsi seksual pada perempuan?
Viagra didesain untuk meningkatkan aliran darah ke alat kelamin. Viagra ampuh bagi banyak lelaki yang menderita impotensi, atau disfungsi ereksi, karena gangguan tersebut lebih bersifat fisik daripada emosional. Namun, ujar Dr. Myrom Murdoch, instruktur klinis urologi di George Washington Medical School, bukan berarti viagra tidak dapat ”mengembalikan fungsi” bagi perempuan. Bisa, tapi tidak untuk semua perempuan.
sumber: Yulia Permata Sari, mediaindonesia.com
0 komentar:
Post a Comment