Ibunya sering menunjukkan kepadanya sawah-sawah yang subur dan kering. ”Sawah yang hijau dan subur itu setiap hari ditengok petani. Kalau yang coklat itu jarang ditengoki petaninya,” kenang Andrias menirukan kalimat ibunya. Perkataan itu mengartikan, sawah yang sering ditengok akan lebih terawat. Perawatan itu adalah cermin dari ketekunan. Tekun, itulah yang menjadi prinsip hidup Andrias. Percobaan membuat reaktor sederhana dari plastik ini sudah dilakukan oleh Andrias Wiji Setio Pamuji (27) pada tahun 2000, saat ia masih kuliah tingkat III di Jurusan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, Andrias baru memasarkannya pada 9 April 2005 setelah menyempurnakan percobaan-percobaannya. Reaktor biogas dari plastik ini sebelumnya pernah menang dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa tahun 2002 yang diadakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Andrias sudah lama mengetahui bahwa kotoran sapi bisa dijadikan gas. Namun, kesempatan membuktikan hal tersebut baru kesampaian saat ia kuliah. Saking penasaran, ia membawa kotoran sapi yang sudah dicampur air dari sebuah peternakan. Kotoran sapi itu ia bawa dengan jeriken ukuran lima liter. Sampai di rumah indekos, jeriken tetap ditutup agar terjadi fermentasi pada kotoran sapi. Setelah sebulan, jeriken dibuka dan di atas lubang jeriken dipasang plastik. Plastik langsung mengembang.
Andrias yang berasal dari Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, itu segera mencari pucuk bolpoin yang terbuat dari logam. Pucuk pulpen ini ditusukkan pada plastik dan keluarlah gas. Ia menyulutnya dengan korek api. ”Ternyata betul, kotoran sapi bisa jadi gas dan bisa dibakar,” ujarnya. Andrias terus memodifikasi peralatan dengan menggunakan uang bantuan dari teman- temannya. Percobaan demi percobaan ia lakukan untuk bisa menghasilkan reaktor dan penampung gas berharga murah dan berkapasitas mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga.
Sampai akhirnya, dari percobaan demi percobaan, ia menghasilkan reaktor dari plastik dengan tebal 250 mikron serta menciptakan kompor untuk jenis gas metana. Ia baru memasarkan reaktor tersebut pada April 2005. Saat itu dirasa tepat sebab harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik. ”Saya sudah memprediksi bahwa BBM akan mahal. Tapi kalau dulu, harga BBM alternatif masih lebih mahal dari BBM yang ada. Sulit bagi masyarakat untuk berpaling,” kata Andrias.
Kini
reaktor biogas buatannya sudah digunakan oleh 66 peternak sapi
perah di Subang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Padang, Sumatera
Barat, menyusul Bali, Jawa Tengah, dan Lampung. Sebetulnya, segala
kotoran binatang bisa digunakan, termasuk kotoran manusia. Hanya saja
teknologi terbentur oleh asas kepantasan dalam masyarakat. Sampah
organik juga bisa dipakai sebagai bahan pokok pembuatan gas. Reaktor
bisa ditempatkan di tempat penampungan akhir (TPA) sampah. Pada TPA
yang mendapat kiriman sampah sebanyak 5.000 meter kubik per hari
bisa dihasilkan gas sebanyak 25.000 meter kubik per hari atau setara
dengan 31,25 juta watt listrik. Itu juga bisa mengalirkan listrik
bagi sekitar 2.500 rumah tangga. Andrias menjual reaktornya dengan
harga Rp 1,5 juta, termasuk pemasangan.
Keseriusan
dalam kerja sama penting karena penjualan reaktor biogas harus
diikuti dengan layanan purnajual yang memuaskan agar masyarakat
tidak merasa tertipu. ”Kalau pemakai merasa banyak keluhan dalam
menggunakan reaktor biogas, mereka tidak akan percaya bahwa kotoran
sapi betul-betul bermanfaat,” ujar Andrias. Ia mengatakan, sampai
kini gas yang dihasilkan belum dapat dikemas dalam tabung karena gas
dari kotoran sapi adalah jenis metana (CH4). Sementara gas yang
dikemas dalam tabung merupakan gas yang bisa dicairkan, yang berasal
dari jenis butana (C4 H10) dan pentana (C5 H12). Gas yang bisa
dicairkan bisa masuk dalam tabung dengan volume jauh lebih banyak.
Namun, metana tidak bisa demikian.
”Tapi
biasanya dalam dunia teknologi, segala sesuatu akan terus
berkembang. Mudah-mudahan ada dana untuk meriset lagi agar tidak
hanya peternak sapi yang bisa merasakan manfaat biogas ini.” kata Andrias.
Sejauh
ini, bagi masyarakat yang ingin menikmati biogas dari kotoran sapi
dan bagi peternak yang ingin menjual biogasnya kepada tetangga baru
bisa dilakukan dengan sistem jaringan gas yang dihubungkan dengan
selang-selang, seperti penggunaan gas pada zaman dahulu. Untuk
menghitung pemakaian, digunakan meteran.
Andrias
adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Anak petani ini sering
penasaran dan ingin membuktikan teori-teori yang didengarnya dengan
cara melakukan percobaan. Waktu kecil ia pernah membuat listrik dan
perahu motor mainan dengan penggerak kincir angin. Kincir angin
dibuat dari pemutar kaset dalam tape. Andrias juga senang bertani dan
beternak. Tanaman dan hewan ia rawat dengan kasih sayang. Ini adalah
ajaran dari ibunya. Sejak kecil Andrias sering membantu orangtuanya
bekerja di sawah. Ibunya sering menunjukkan kepadanya sawah-sawah
yang subur dan kering. ”Sawah yang hijau dan subur itu setiap hari
ditengok petani. Kalau yang coklat itu jarang ditengoki petaninya,”
kenang Andrias menirukan kalimat ibunya. Perkataan itu mengartikan,
sawah yang sering ditengok akan lebih terawat. Perawatan itu adalah
cermin dari ketekunan. Tekun, itulah yang menjadi prinsip hidup
Andrias.
Sumber, www.jaist.ac.jp
0 komentar:
Post a Comment